Beberapa bentuk jual beli yang diperbolehkan dalam hukum (fikih) Islam, yaitu Bai’ al-Sil’ah bi al-Naqd, Bai’ al-Muqayadhah, Bai’ al-Salam, Bai’ al-Murabahah, Bai’ al-Wadhiah, Bai’ al-Tauliah, Bai’ al-Inah, Bai’ al-Istishna’, dan Bai’ al-Sharf. Di bawah ini akan diurakan mengenai pengertian dan contoh-contoh dari bentuk jual beli tersebut.
-
Bai’ al-Sil’ah bi al-Naqd (بيع السلعة بالنقد)
Contoh Bai’ al-Sil’ah bi al-Naqd adalah membeli pakaian atau makanan dengan uang rupiah sesuai dengan harga barang yang telah ditentukan.
-
Bai’ al-Muqayadhah (بيع المقايضة)
Contoh Bai’ al-Muqayadhah adalah menukar beras dengan jagung, pakaian dengan tas, atau binatang ternak dengan barang tertentu lainnya.
-
Bai’ al-Salam (بيع السلم)
Contoh Bai’ al-Salam adalah membeli perabotan rumah tangga, seperti kursi, meja atau almari dari seorang sales yang menawarkan barang dengan membawa contoh gambar/foto barang. Selanjutnya, barang itu dikirimkan kepada pembeli setelah dibayar terlebih dahulu. Contoh lainnya adalah jual beli barang yang dipajang melalui media atau jaringan internet (iklan). Calon pembeli mentransfer sejumlah uang kepada penjual sesuai harga barang, kemudian barang baru dikirim kepada pembeli.
-
Bai’ al-Murabahah (بيع المرابحة)
Dalam menentukan besaran keuntungan, maka seorang penjual harus memiliki pertimbangan antara aspek komersial dan sosial untuk saling ta’awun (saling menolong). Pada titik ini, bisnis yang dijalankannya memiliki dua keuntungan sekaligus, yaitu finansial dan sosial. Dalam agama Islam sering disebut “fiddun–ya hasanah wa fil akhirati khasanah (kebahagiaan dunia dan akhirat)”.
Contoh Bai’ al-Murabahah adalah menjual baju yang harga aslinya Rp. 35.000,- menjadi Rp.40.000,-. Dengan demikian, penjual mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 5000,-.
-
Bai’ al-Wadhiah (بيع الوضيعة)
-
Bai’ al-Tauliah (بيع التولية)
Sepintas, jenis jual beli ini terkesan bertentangan atau menyalahi prinsip dan tujuan jual beli pada umumnya, yaitu untuk mencari keuntungan finansial dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup (ma’isyah) seseorang. Namun perlu difahami bahwa biasanya praktik jual beli al-tauliyah dapat terjadi secara kasuistis karena adanya suatu kondisi tertentu, sehingga ia rela menjual barang yang dimilikinya sesuai harga pokok dan tanpa bermaksud untuk mencari keuntungan sedikitpun. Jual beli semacam ini termasuk hal yang diperbolehkan dalam Islam, selama dibangun di atas prinsip saling merelakan (‘an–Taradhin), dan tidak terdapat unsur paksaan serta kezaliman.
-
Bai’ al-Inah (بيع العينة)
Jenis jual beli ini hukumnya Mubah (boleh), dengan syarat, penjual harus memperhatikan hak-hak pembeli, penentuan harga yang wajar, dan tidak ada kezaliman. Dengan demikian, terdapat unsur saling tolong-menolong di antara penjual dan pembeli untuk menyediakan dan melonggarkan kesulitan masing-masing pihak. Seorang penjual membantu menyediakan barang bagi calon pembeli sesuai kemampuan daya beli dengan memberikan waktu sesuai kesepakatan.
Di sisi lain, penjual juga tidak diperkenankan untuk mencari kesempatan dalam kesempitan dengan memanfaatkan ketidakmampuan ekonomi calon pembeli demi mencari keuntungan semaksimal mungkin. Jika hal ini terjadi, maka pembeli akan merasa terpaksa mengikuti sistem yang ditetapkan penjual, karena kebutuhannya yang mendesak terhadap barang tertentu.
Dalam praktik sehari-hari, tidak sedikit orang yang mengkreditkan barang dengan melakukan penyitaan (mengambil kembali) barang yang telah dikreditkan karena pembeli belum sanggup melunasi sesuai batas waktu yang telah ditentukan tanpa memberikan toleransi atau penambahan waktu. Sistem seperti ini tentu merupakan bentuk kezaliman terhadap orang lain yang sangat dibenci dan dilarang oleh ajaran Islam.
-
Bai’ al-Istishna’ (بيع الاستصناع)
Bentuk jual beli ini sepintas memiliki kemiripan dengan jual beli Salam (bai’ al-Salam), namun tetap terdapat perbedaan. Di dalam jual beli Salam, barang yang ditransaksikan sesungguhnya sudah ada, namun tidak dibawa pada saat terjadinya jual beli. Penjual (salesman) hanya membawa foto atau contoh barang (sample) saja, kemudian diserahkan kepada pembeli setelah terjadinya kesepakatan di antara mereka. Sedangkan dalam jual beli istishna’, barang yang diperjual-belikan belum ada dan belum diproduksi. Barang itu baru dibuat setelah terjadinya kesepakatan di antara penjual dan pembeli sesuai kriteria dan jenis barang yang dipesan.
Contoh Bai’ al-Istishna’ adalah pemesanan pembuatan kursi, almari dan lain sebagainya kepada pihak produsen barang. Jenis jual beli seperti ini diperbolehkan dalam Islam, sekalipun barang yang diperjual belikan belum ada, asalkan dibangun di atas prinsip saling merelakan (‘an–taradhin), transparan (tidak manipulatif), memegang amanah, serta sanggup menyelesaikan pesanan sesuai kesepakatan yang telah diputuskan bersama.
-
Bai’ al-Sharf (بيع الصرف)
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ. – رواه مسلم
“Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, (takaran/timbangannya) harus sama dan kontan. Barangsiapa yang menambah atau meminta tambahan maka ia telah berbuat riba, pemberi dan penerima dalam hal ini sama” [HR. Muslim].Dalam hadits lain, dijelaskan:
لاَ تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ ، وَلاَ تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ ، وَلاَ تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ ، وَلاَ تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ ، وَلاَ تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ. – رواه البخاري ومسلم
“Janganlah engkau menjual emas ditukar dengan emas melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau melebihkan salah satunya dibanding lainnya. Janganlah engkau menjual perak ditukar dengan perak melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau melebihkan salah satunya dibanding lainnya. Dan janganlah engkau menjual salah satunya diserahkan secara kontan ditukar dengan lainnya yang tidak diserahkan secara kontan” [HR. al-Bukhari dan Muslim].Sekalipun kedua hadits tersebut berbicara tentang jual beli atau pertukaran emas dan perak, namun hukumnya berlaku pula untuk mata uang saat ini. Hal ini tidak lain karena sifat yang ada pada emas dan perak saat itu sama dengan uang saat ini, yaitu sebagai alat tukar atau uang (al-nuqud). Menurut para ulama fikih, termasuk Majelis Ulama Indonesia, transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut:
- Tidak untuk spekulasi (untung-untungan);
- Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan);
- Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis, maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh);
- Apabila berlainan jenis, maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.
Comments
Post a Comment